Karl marx mengemukakan teori perjuangan
kelas dimana ia membagi masyarakat ke dua kelompok, borjuis ( Pemegang modal )
dan Proletar (Buruh). Ia mencetuskan teori ini karena melihat masyarakat Eropa
pada abad ke 19 yang terbagi menjadi borjuis dan proletar. Asumsi dasar dari
teori perjuangan kelas adalah kaum borjuis yang menikmati surplus atau bisa
dikatakan untung yang dihasilkan dari jerih payah para proletar. Bisa dikatakan
kondisi borjuis menguasai proletary memperburuk hubungan sosial dalam masyarakat. Industri menjadi bak
raja dalam sistem ini. Yang bisa kita sebut sistem structural fungsional.
Mengapa Struktural ? Karena membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang
berbeda “Pangkat”. Marx yang humanis sedih melihat kelompok proletar tersiksa
dibawah sistem industri kapitalis ini. marx melihat setiap individu memiliki
posisi yang sama dalam masyarakat. Mengapa fungsional ?. Karena, Sistem ini
menjaga keteraturan yang berarti masyarakat tersebut damai – damai saja dengan
kata lain masyarakat utopis. Marx melihat konflik sosial terjadi antara
kelompok atau kelas daripada di antara individu.[1] Pendapat ini berangkat
dari keadaan eropa pada masa itu yang begitu kapitalis.
A. Asumsi dasar
Asumsi
dasar dari teori konflik yang dikemukakan marx antara lainj
a. Manusia
tidak memilikin kodrat yang persis dan tetap. Marx memandang dalam setiap
masyarakt setiap individu memiliki perbedaan tingkatan. Manusia mengalami
stratifikasi dalam masyarakat.
b. Tindakan,
sikap, dan kepercyan individu terganyung pda hubungan sosialny, dan hubungan
sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan strukturekonomis masyarakat
c. Manusia
tidak mempunyai kodrat, lepas dari apa yang diberikan oleh posisi sosialnya
d. Marx
menyamakan basis sebab akibat dari masyarakat dengan kekuatan produksi, yaitu
dengan apa yang dihasilkan dan bagaimana sesuatu dihasilkan
e. Marx
membedakan jenis masyarakat atas dasar cara – cara produksi msyarkat dari primitive,
perbudakan, feodalisme, kapitalisme dan komunisme

f.
Pendekatan Konseptual
Pendekatakn konseptual yang digunakan marx
adalah marx berpendapat, konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh
akses terhadap kekuatan produksi, apabila control dari masyarakat konflik akan
bisa dihapus. Artinya , bila kapitalisme digantikan dengan sosialisme, kelas –
kelas akan terhapus dan pertentangan akan terhenti[2]. Bila kita melihat sistem
pemerintahan sosialis seperti saat rusia dipimpin oleh Stalin. Memang tercipt
masyarakat tanpa kelas yang begitu harmonis dan terlihat utopis. Tapi kekurangannya
adalah malah cenderung seperti masyarakat dalam kajian structural fungsional
dan kemungkinan unntuk muncul kelas – kelas akan muncul lagi. Dan dipastikan
akan terjadi konflik alagi. Karena, negara menjadi penguasa factor – factor
produksi. Dan akhirnya muncul konflik antara masyarakat dengan pengusa.
Marx berpendapat, bahwa bentuk – bentuk
konflik terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama
melalui terbentuknya hubungan – hubungan pribadi dalam produksi sampai pada
titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam
produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan produksi.[3] Marx menjabarkan konflik
akan menjadi terstruktur Karena adanya “kong kalikong” atau pada masyarakat
umum disebut korupsi, kolusi dan nepotisme. Hubungan pribadi yang disebutkan
disini adalah dalam realitanya. Businessman A memilih rekannya sekaligus
saudaranya Businessman B untuk mengambil tender yang akan diadakan di Provinsi
X. Sedangkan Kepala Daerah Provinsi X merupakan Teman kuliah Businessman B.
Businessman A melihat ini sebagai peluang. Dan benar saja, Mereka berdua
mendapat tender tersebut, sehingga businessman A dan B semakin kaya dan
Businessman lain semakin terpuruk Karena semua tender yang terdapat di Provinsi
X diambil semua oleh Businessman A dan
B. Kedekatam personal ditambah kekerabatan yang erat menjadikan dan membentuk
stratifikasi dalam masyarakat. Di contoh kasus ini juga dapat terlihat
hilangnya pemilihan komunal atas kekuatan produksi terlihat dalam keputusan
kepala daerah provinsi X yang cenderung
nepotisme dan hanya mementingkan “kekerabatannya”.
g. Ciri
– Ciri dan Karakteristik
Dari
penjelasan diatas maka dapt disimpulkan teori konflik Marx memiliki
karakteristik
a. Penekanan
pada teori antar kelas
b. Lebih
menekankan pada konflik antar kelompok daripada konflik antar individu
c. Humanis
d. Produksi
( Faktor maupun hasil ) merupakan basis dari bermulainya sbuah konflik
e. Konflik
berdasarkan stratifikasi
f.
Menentang berat kapitalisme
2. Max
Weber
Weber Mengistilahkan konflik sebagai Suatu sistem “
Otoritas “ atau sistem “kekuasaan”.[4] Kekuasaan dan otoritas
memiliki artian penguasa dalam benak khalyak umum. Tetapi weber mengartikan kekuasaan
dan otoritas secara sama tapi tidak serupa. Perbedaan antara Otoritas dan
kekuasaan yaitu sebagai berikut. Kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada
kekuatan, sedangkan otoritas adalah kekuasaan yang telah mendapat pengakuan
umum.[5] Menurut weber otoritas ini
harus melakukan atau menjalankan fungsinya sebagai individu yang memiliki kuasa
Karena adanya legitimasi dari pihak lain atau rakyatnya. Fungsi pengusa adalah
memilih memutuskan dan memilih ketentuan yang akan dilakukan dalam sebuah
negara ( making a policy). Dalam hal ini weber berpendapat bahwa sistem yang
otoritas buat menjadi perubahan. Keberadaan otoritas itu sendiri menciptakan
kondisi – kondisi untuk konflik.[6]
A. Asumsi Dasar
a. Hubungan
sosial memperlihatkan adanya ciri – ciri suatu sistem, dan di dalam hubungan
tersebut ada benih – benih konflik kepentingan
b. Fakta
sosial merupakan sistem yang memungkinkan menimbulkan konflik.
c. Konflik
merupakan suatu gejala yang ada dalam setiap sistem sosial
d. Konflik
cenderung terwujud dalam bentuk bipolar.
e. Konflik
sangat mungkin terjadi terhadap distribusi sumber daya yang terbatas dan
kekuasaan.
f.
Konflik merupakan suatu sumber terjadinya
perubahan pada sistem sosial.
B. Pendekatan
Konseptual
Dibandingkan denga Karl Marx, weber
memiliki pandangan yang lebih pesimistis, bahwa pertentangan merupakan salah
satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dab tidak dapat dihilangkan.
Pada waktu depan, masyarakat kapitalis dan sosialis akan selalu bertarung
memperebutkan berbagai macam sumber daya. Kaerena itu, konflik sosial merupakan
ciri permanen dari semua masyarakat yang semakin kompleks, tetapi bentuk
tingkat kekerasan yang diambil secara substansial sangat bervariasi[7]. Karl marx mnelihat
konflik sebagai siklus yang ada dalam masyarakat dan akan hilang ketika tujuan
dari konflik tersebut tercapai, sedangkan weber melihat konflik sebagai suatu
ciri dari masyrakat itu sendiri. Konflik dalam memperebutkan sumber daya
ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial.[8] Dalam memperebutkan sumber
daya tersebut, msayarakat berlomb – lomba memperebutkan kekuasaan. Saat dalam
kursi kekuasaan, individu dapat menjalankan kepentingan masing – msaing dan
kepentingan kelompok atau golongan dimana dia berada.Weber menekankan dua tipe.
Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat
fundamental. Kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk
memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu
terhadap yang lain, dan dia tidak menganggap pertentangan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi. Sebaliknya, dia melihat bahw pertentangan untuk memperoleh
kekuasaan tidaklah terbatas pada organisasi- organisasi politik formal, tetapi
juga terjadi pada setiap tipe kelompok, seperti organisasi keagamaan dan
pendidikan.[9]
Weber menyatakan dalam setiap organisasi memiliki kecenderungan untuk saling bergesekan
dalam hal memperoleh status otoritas. Dalam organisasi keagaaman, dapat dilihat
orang berlomba – lomba memperoleh gelar tinggi agar bisa menjadi pemimpin agama
yang disegani. Sedangkan dalam organisai pendidikan sama, agar menjadi kepala
sekolah, dekan,dan rector.
Tipe Konflik kedua yang dijabarkan oleh
weber adalah konflik dalam menyampaikan gagasan. Orang sering tertantang untuk
memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia mereka, baik berupa doktrin
keagamaan, filsafat sosial, ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup kultural
yang terbaik.[10]
Orang berlomba – lomba untuk menyampaikan pendapatnya dalam hal ideologi
terbaik. Padahal, setiap individu memiliki idealismenya masing – masing dalam
hidupnya. Bila sekelompok Orang memiliki idealism yang sama mengenai arah
jalannya suatu organisasi, maka akan terkumpul satu kelompok yang memiliki
idealism yang sama dan ingin menentang idealism yang dimiliki otorita yang
sedang menjabat. Ini terjadi pada setiap organisasi, bahkan pada organisasi
seperti organisasi ekstrakulikuler di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Jadi kebutuhan akan sumber daya atau kepentingan yang bentuknya biasanya
material dan gagasan atau ide atau pendapat berjalan beriringan dan memiliki
kausalitas yang berbeda.
Teori Konflik melihat kapan terjadinya
suatu kellopok dan organisasi dan bagaimana cara kelompok dan organisasi
tersebut terbentuk. Weber menganalisis dominasi dalam perkumpulan buruh hingga
proses pengontroloan perjuangan yang tersembunyi.
Bila otorita sebagai pemimpin semakin
rendah posisi politisnya, seperti kurangnya kepercayaan kelompoknya, ini bisa
menimbukan munculnya pemimpin pemimpin baru yang melahirkan kelompok – kelompok
baru yang akan merebut tampuk kekuasaan yang dipegang otorita.
C. Ciri
– ciri dan karakteristik
a. Konflik
terjadi dibagi menjadi dua tipe, yaitu konflik demi kepentingan (sumberdaya,
modal dan factor ekonomi lainnya) dan Gagasan (idealism, gagasan dan pendapat
dalam menjalani kehidupan)
b. Tidak
hanya terjadi di organisasi formal seperti organisasi politik, juga terjadi di
organisasi lainyya seperti pendidikan dan agama
c. Konflik
merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang tidak dapat dihilangkan
d. Konflik
yang terjadi antara Otorita dan kelas bawah (vertical)
e. Konflik
tidak hanya berangkat dari perbedaan kelas, konflik juga terjadi Karena adanya
perbedaan kepentingan dan pendapat
f.
Semakin lemah legitimasi politik penguasa,
maka semakin besar kecenderungan timbulnya konflik antara kelas atas dan kelas
bawah
g. Munculnya
pemimpin kelompok bawah dalam keterpurukan legitimasi politik otorita, membuat
pemimpin kelompok bawah lebih kharismatik dan bisa mengancam otorita.
3. Ralph
Dahrendorf
Ralph Gustav
Dahrendorf, Baron Dahrendorf, KBE, FBA, PhD (1 Mei 1929 – 17 Juni 2009)
adalah sosiolog, filsuf, ilmuwan politik, dan politikus liberal Jerman-Britania.
Sebagai seorang teoriwan konflik kelas, Dahrendorf merupakan tokoh ternama yang
menjelaskan dan menganalisis pembagian kelas di masyarakat modern dan diakui
sebagai "salah satu pemikir paling berpengaruh di
masanya." Dahrendorf wrote multiple articles and books, his most
notable being Class Conflict in Industrial Society (1959)
and Essays in the Theory of Society (1968).
Semasa berkecimpung
di dunia politik, ia menjabat sebagai anggota Parlemen Jerman, Menteri
Luar Negeri Parlemendi Kementerian
Luar Negeri Jerman, Komisaris
Hubungan Luar Negeri dan Perdagangan Eropa, Komisaris
Riset, Sains, dan Pendidikan Eropa, dan anggota House
of Lords Britania Raya;
ia diangkat sebagai jawatan seumur
hiduppada tahun 1993. Di
Britania Raya, ia dikenal dengan sebutan Lord Dahrendorf.[2]
Ia pernah menjabat
sebagai direktur London School of Economics dan Pengurus St
Antony's College,
Universitas Oxford. Ia juga pernah menjadi Dosen Sosiologi di sejumlah
universitas di Jerman dan Britania Raya, dan Dosen Peneliti di Berlin
Social Science Research Center.[11]
A.
Asumsi –
asumsi dasar
a.
Ketika
kepentingan saling bertabrakan maka akan terjadi konflik
b.
Konflik terjadi
disebabkan oleh berbagai aspek sosial
c.
Dahrendor
memandang masyarakat terdapat dua wajah, yaitu konflik dan consensus
d.
Kelompok
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok semu, kelompok manifest dan kelompok laten.
e.
Perubahan
sosial ada dimana saja
f.
Manusia
sebagai mahkluk sosial mempunyai andil bagi terjadinya disintegrasi dan
perubahan sosial
g.
Masyarakat
selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan, masyarakat terintegrasi
atas dasar dominasi (borjuasi) menguasai proletary. Konflik kelas ini
disebabkan tidak adanya pemisahan antara pemilikan serta pengendalian sarana –
sarana produksi.[12]
B.
Pendekatan
Konseptual
Dahrendorf
membandingkan model integrasi dan konflik dalam memahami masyarakat.
Model
Integrasi
|
Model
Konflik
|
·
Setiap
masyarakat secara relative bersifat langgeng
·
Setiap
masyarakat merupakan struktur elemen yang terintegrasi dengan baik
·
Setiap
elemen di dalam suatu msayarakat memiliki satu fungsi, yaitu menyumbang pada
bertahannya sistem itu.
·
Setiap
struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada consensus nilai diantara para
anggotanya.
|
·
Setiap
masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial ada
dimana mana
·
Setiap
masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik sosial ada dimana
– mana
·
Setiap
elemen dalam masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan.
·
Setiap
masyarakat didasarkan pada paksaan atas beberapa anggotanya oleh orang lain.
|
Dalam
bagan berikut, terlihat bahwa kepentingan dasar dalam kehidupan sosial. Apabila
kepentingan itu saling bertabrakan ( baik yang manifest maupun laten ) maka
sudah barang tentu akan terjadi konflik.[13]
Teori
konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah
karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya
bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa
memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan
kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada
paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain[14]
dua wajah yang dimaksud adalah consensus dan konflik. Pada saat masyarakat
mengalami masa consensus, bisa saja msyarakat dilanda konflik ketika
kepentingan masuk kedalamnya, dahrendorf memisahkan antara konflik laten dan
konlik manifest. Konflik laten lebih mengarah kepada adanya isu – isu yang
bersifat lokal sebagai akibat dari sikap primordial kedaerahan yang berlebihan.[15]
Sedangkan konflik manifest lebih kepada Konflik manifest secara etimologi dapat
dipahami sebagai konflik yang tampak dan sangat berpengaruh besar terhadap
masayarakat luas[16] Konflik Latent dapat
berubah menjadi konflik manifest, tapi menuntut syarat. menurut ralf
dahrendorf, syarat itu dapat di klasifikasikan menjadi tiga, yaitu.
a.
Kondisi
teknis
b.
Kondisi
politik
c.
Kondisi
sosial
C.
Ciri dan karakteristik
a.
Melihat
konflik sebagai hasil dari konflik yang sudah ada
b.
Konflik
tidak hanya terjadi Karena factor – factor ekonomi tetapi juga factor lainnya
c.
Penyebab
konflik terdapat pada semua msayarakat
d.
Konflik
berjalan bersamaan dengan disintegrasi dan perubahan
4.
Randal
Colins
Randall Collins dilahirkan pada tahun 1945
di Berlin dari lingkungan keluarga militer. Ayahnya adalah seorang intelgen
militer, yang semula bertugas di Uni Soviet, kemudian kembali ke Jerman (
dibawah pengaruh militer Amerika). Dari latar belakang kehidupan keluarganya
yang militer, Collins juga banyak menimba pengalaman yang mendukung lahirnya
pemikiran – pemikiran konflik sebagai suatu teori dalam memecahkan
masalah-masalah sosial.karya tulisnya yang terkenal berjudul Conflict Sociology
(1975) dan The Credential Society (1979) bahwa konflik sangat penting dan
selalu memberikan alternatif dalam menyelesaikan masalah fenomena social,
melalui pendekatan mikro yang bersifat emosi social (the micro details of
social emotions).
A. Asumsi
– asumsi dasar
a. Collins
percaya bahwa penduduk tinggal pada dunia subyektifyang dikonstruksi sendiri
b. Orang
lain mempunyai kekuatan untuk mengontrol pengalaman subjektif seseorang.
c. Orang
lain secara terus mengontrol seseorang yang melawan mereka.[17]
B. Pendekatan
konseptual
Collins mengatakan bahwa perselisihan
relative jarang terjadi apalagi perusakan fisik. Menurut Randall Collins.
Konflik merupakan proses sentral kehidupan sosial sehingga dia tidak menganggap
koflik itu baik atau buruk. Penyebab terjadinya konflik bermacam-macam: dapat
disebabkan perbedaan individu, latar belakang budaya, kepentingan, ataupun
perubahan-perubahan nilai yang cepat. Konflik dalam pengertian longgar, yakni
perbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai berbagai
kelompok masyarakatyang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari keberadaan
manusia dalam kehidupan kolektif. Sampai kapanpun konflik akan selalu kita
temui. Secara garis besar konflik terjadi karena adanya sebuah perbedaan. Dimanapun
dan kapan pun perbedaan selalu ada sehingga konflik pun akan selalu ada ketika
perbedaan itu ada sedangkan perbedaan itu selalu ada dan tidak akan hilang.
Teori konflik Collins lebih sintetis dan integratif, Karena arus
orientasimya cenderung mikro.collin memandang penyebab konflik itu adalah
perbedaan sumber yang dimiliki berbagai kelompok unsur.[18] Seperti dalam masyarakat
yang memandang perempuan rendah. Laki – laki selalu menang atas wanita. Dan
wani ta didominasi oleh laki – laki Konsep konflik yang pernah dikembangkan
Randall Collins ialah mengenai konsep konflik integratif. Konsep integratif
ibarat sepasang suami isteri yang sangat berbeda jenisnya, laki-laki dan
perempuan, berbeda adat istiadat, hobi dan kebiasaan, berbeda selera, berbeda
kemampuan, tetapi mereka bisa bersatu mendukung terciptanya keluarga harmonis.
Mengapa kok bisa, tentu saja karena masing-masing pihak bisa saling
mengerti, saling memahami, saling menerima, meskipun mungkin latar belakang
sosial budaya juga berbeda.
Collins
menerangkan kemunculan konflik itu melalui penjelasan mengenai stratifikasi
sosial. Ia tidak bermaksud menggambarkan stratifikasi sosial secara detail.
Tetapi yang ditekankan bahwa konflik dipolakan oleh struktur stratifikasi
dengan intensitas dominasi, dengan sumber-sumber yang mendorong
kelompok-kelompok untuk mengorganisasi dan memobilisasi. Dengan penguasaan
sumber daya, maka akan dapat dicegah melakukan hal-hal tertentu.[19]
Konflik akan
terjadi bilamana kedua keadaan terjadi bersamaan yaitu :
a. Keadaan
di mana suatu kelompok mengalami pengakuan status yang rendah dan tidak
mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam jaringan sosial yang penting
b. Keadaan
dimana suatu kelompok mempunyai lapangan sumber institusional yang besar jika
dibandingkan dengan kelompok lain, meskipun
berada dalam masyarakat yang mempunyai tingkat sistem yang sama
c. Intensitas
konflik, semakin intens suatu konflik terjadi akan semakin cepat pembentukan
kelompok yang lebih kuat dari masing masing kelompok konflik.( semakin terdiferensiasi
pembagian pekerjaan semakin terpusat usaha pengambilan ) keputusan, sebab
didalam konflik yang intens dengan diferensiasi yang tidak kompleks akan
semakin sukar solidaritas internal diciptakan. Semakin intens suatu konflik dan
semakin muidah perubahan struktur terjadi, semakin tinggi pula derajat
solidaritas konfliknya.
C. Ciri
dan Karakteristik
a. Konflik
merupakan proses sentral kehidupan sosial
b. sintetis
dan integrative
c. penyebab
konflik itu adalah perbedaan sumber yang dimiliki berbagai kelompok unsur.
d. konflik
terjadi karena adanya sebuah perbedaan
e. konfik
berasal dari kepentingan laten, manifest dan semu
5. Lewis
A Coser
Lewis A Coser lahir di Berlin, tahun 1913. Ia
memusatkan perhatiannya pada kebijakan sosial dan politik. Pasca
Perang Dunia II, tamatan Universitas Columbia (1968) ini mengajar di
Universitas Chicago dan Universitas Brandeis tempat dimana dia dinobatkan gelar
guru besar. Tahun 1975 Lewis Coser terpilih menjadi Presiden American
Sociological Association (ASA). Coser juga aktif sebagai columnis di berbagai
jurnal. Tulisan Coser yang terkenal adalah Greedy Institutions alias Institusi
Tamak.
Penulis buku The Functons of Social Conflict ini,
mengutip dan mengembangkan gagasan George Simmel untuk kemudian dikembangkan
menjadi penjelasan-penjelasan tentang konflik yang menarik. Coser mengkritik
dengan cara menghubungkan berbagai gagasan Simmel dengan perkembangan fakta
atau fenomena yang terjadi jauh ketika Simmel masih hidup. Ia juga mengkritisi
dan membandingkannya dengan gagasan sosiolog-sosiolog klasik. Menambahkan
dengan gagasan seperti dinyatakan ahli psikologi seperti Sigmund Freud.
Hal yang menarik dari Coser adalah bahwa ia sangat
disiplin dalam satu tema. Coser benar-benar concern pada satu tema-tema
konflik, baik konflik tingkat eksternal maupun internal. Ia mampu mengurai
konflik dari sisi luar maupun sisi dalam. Jika dihubungkan dengan pendekatan
fungsionalisme, nampak ada upaya Coser untuk mengintegrasikan fungionalisme
dengan konflik.Menurut George Ritzer dalam melakukan kombinasi itu, baik teori
fungsionalime maupun teori konflik akan lebih kuat ketimbang berdiri sendiri.
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap
terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada
saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi
tentang konflik sosial. Berbeda oleh karena itu dapat oleh
berdasarkanbeberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua
perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser
mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan
menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer
sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai
penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai
sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta
mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser
mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George
Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan
teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin
bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang
mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia-
sia Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile
Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan
pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan
bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat
ditempatkan Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:
a. Simmel
memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari
dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup
berbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin
terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
b. Menurut
Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan
memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana
konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi
secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
A. Asumsi
Dasar
a. Konflik
merupakan salah satu bentuk interaksi dan tak perlu diingkari kebenarannya[20]
b. Konflik
merupakan sebuah sitem sosial yang bersifat fungsional
c. Terdapat
kelompok luar dan kelompok dalam
B. Pendekatan
Konseptual
Konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan
,mempersatukan dan bahkan mempertegas system social yang ada. Contoh yang
paling jelas untuk memahami fungsi positif konflik adalah hal-hal
yang menyangkut dinamika hubungan antara “in-group (kelompok dalam) dengan
“out-group” (kelompok luar).Berikut ini adalah sejumlah proposisi yang
dikemukakan oleh lewis A.Coser:[21]
a. Kekuatan
solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (in group ) akan bertambah
tinggi apabila tingkat permusushan atau konflik dengan kelompok luar bertambag
besar.
b. Integritas
yang semakin tinggi dari kelompok yang terlibat dalam konflik dapat membantu
memeperkuat batas antara kelompok itu dan kelompok-kelompok lainnya dalam
lingkungan itu,khususnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensi dapat
menimbulkan permusuhan.
c. Dalam
kelompok itu ada kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan ,dan
semakin tingginya tekanan pada konsesus dan konformintas.
d. Para
penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransikan, mereka tidak dapat
dibujuk masuk kejalan yang benar, mereka mungkin diusir atau dimasukkan dalam
pengawasan yang ketat.[22]
Cosar memang mengakui bahwa komplik itu dapat
membahayakan persatuan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara agar bahaya
tersebut dapat dikurangi atau bahkan dapat diredam. Baginya, Katup
penyelamat ( savety valve) dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan
permusuhan”, atau singkatnya dapat kita sebut dengan mediator. Dengan adanya
katup penyelamat (mediator) tersebut, kelompok kelompok yang bertikai dapat
mengungkapkan penyebab dari munculnya konflik tersebut .Tetapi bagaimana
seandainya ada orang atau kelompok yang merasa tidak puas
dengan system yang berlaku?, Dewan Perwakilan Rakyat dapat diambil contoh
sebagai ketup pengaman untuk menertibkan dan menyalurkan semua aspirasi,
termasuk perasaan kurang puas terhadap system politik yang ada atau sedang
berlaku. Dengan cara demikian, dorongan – dorongan agresif atau permusuhan dapat
diungkapkan dengan cara – cara yang tidak mengancam atau merusak solidaritas
dan kesatuan masyarakat.[23] Lembaga – lembaga lainnya
seperti otorita eksekutif dan yudikatif juga dapat menjadi “savety valve”.
Menurut Coser, ketup pengaman ini disamping dapat
berbentuk institusi social dapat juga berbentuk tindakan – tindakan atau
kebiasaan – kebiasaan yang dapat mengurangi ketegangan, karena konflik tidak
dapat disalurkan.[24]
Coser mengakui beberapa susunan structural merupakan
hasil persetujuan dan consensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum
fungsionalis structural, tetapi ia juga menunjukkan pada proses lain yaitu
konflik social. Menurut Coser, bahwa konflik itu bersifat fungsional ( baik )
dan bersifat disfungsional ( buruk ), bagi hubungan – hubungan dan struktur
yang tidak terangkum dalam system social sebagai suatu keseluruhan. Perhatian
Coser cendrung melihat dari sisi fungsi bukan dari sisi disfungsinya. Karena
Cosar mendefinisikan konflik social sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber – sumber
pertentangan di netralisasikan atau di langsungkan, atau dieliminasi saingan –
saingannya.[25]
Coser dengan konflik fungsionalnya menyatakan, bahwa
konflik dapat merubah bentuk intraksi, sedangkan ungkapan perasaan permusuhan
tidaklah demikian. Cosar merumuskan fungsionalisme ketika membincangkan tentang
konflik disfungsional bagi struktur social ketika terdapat toleransi atau tidak
terdapat konflik. Intensitas konflik itu lantas mengancam adanya suatu
perpecahan yang akan menyerang basis consensus system social berhubungan dengan
kekuatan suatu struktur. Apa yang mengancam kondisi pecah belah bukanlah
konflik melainkan kekacauan konflik itu sendiri, yang mendorong adanya
permusuhan yang terakumulasi dan tertuju pada suatu garis pokok perpecahan yang
dapat meledakkan konflik.[26]
C. Ciri
dan Karakteristik
a. Melihat
dari sisi positif terjadinya konflik
b. Konflik
tidak jauh dari In – froup dan Out – group
c. Katup
penyelamat sebagai control terhadap konflik
d. Konflik
dapat merubah bentuk interaksi, sedangkan ungkapan persaan permusuhan tidaklah
demikian
e. Konflik
berperan ganda ( sebagai fungsional dan disfungsional)
[1] Wirawan,
Ida Bagus, Teori – teori Sosial dalam Tida Paradigma, Fakta Sosial, Definisi
Sosial, dan Perilaku Sosial,prenadamedia group, 2012, Jakarta, Hlm 66
[2]
Ibid, hlm 67
[3] Ibid,
hlm 68
[4]
Ibid, hlm 69
[5]
Ibid, hlm 69
[6]
Ibid
[7]
Ibid, hlm 70
[8]
ibid
[9]
Ibid, hlm 70 -71
[10]
Ibid, hlm 71
[13]
Wirawan, Ida Bagus, op.cit, hlm 73
[14] Pruit&Rubin dalam
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta, Kencana,2010,
hal 117
[15] KONFLIK
LATEN DAN MANIFEST ; STUDY KASUS, ANALISA DAN SOLUSI MENUJU INTEGRASI BANGSA
YANG LEBIH BAIK, http://masterofwibi.blogspot.co.id/2011/10/konflik-laten-dan-manifest-study-kasus.html
Diakses pada
tanggal 1 november pada pukul 00.44
[16]
ibid
[18]
ibid
[20]
Wirawan, Ida Bagus, op.cit, hlm 82
[21]
Ibid hlm 83
[22]
ibid
[23]
Ibid hlm 84
[24]
ibid
[25]
ibid
[26]
ibid

Comments
Post a Comment